Beranda | Artikel
Hukum Jual Beli Patung
Jumat, 28 Maret 2014

Kita lihat di mana-mana bertebaran berbagai macam patung bisa jadi sebagai monumen atau sekedar dipajang di rumah. Dalam Islam jual beli patung itu terlarang karena dilarang dalam hadits karena perantara menuju kesyirikan.

Dalam hadits Jabir disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ

Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 4132). Yang dimaksud shonam dalam hadits adalah patung yang memiliki bentuk tubuh.

Mengenai alasan haramnya jual beli patung, sebagian ulama mengatakan bahwa sebabnya karena tidak ada manfaatnya.

Ada yang berpendapat, jika patung tersebut dihancurkan, lalu yang sudah hancur tersebut dijual, baru dibolehkan.

Imam Ash Shon’ani mengatakan, “Alasan larangan jual beli patung karena adanya larangan jual beli benda tersebut. Namun boleh menjual yang sudah dihancurkan karena bukan lagi disebut patung atau berhala (ash-nam). Dan tidak ada satu pun dalil yang melarang jual beli patung yang sudah dihancurkan.” (Subulus Salam, 5: 11)

Alasan lainnya dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan bahwa patung dilarang diperjualbelikan karena dapat merusak agama serta sebagai perantara menuju kesyirikan.  Sama halnya dengan jual beli salib dan kitab yang berisi kesyirikan dan peribadahan kepada selain, jelas juga haramnya. Wallahu a’lam. (Lihat Minhatul ‘Allam, 6: 17).

Yang menunjukkan bahwa membuat patung adalah perantara menuju kesyirikan disebutkan dalam perkataan Ibnu Taimiyah berikut ini. Beliau berkata, “Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan bahwa mereka yang disebut dalam surat Nuh adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, orang-orang pada i’tikaf di sisi kubur mereka. Lalu mereka membuat patung orang sholih tersebut. Lantas orang sholih tersebut disembah. Ini sudah masyhur dalam kitab tafsir dan hadits, serta selainnya seperti disebutkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ Al Fatawa, 1: 151).

Ayat yang dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyah,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23). Ibnu Katsir berkata bahwa ini adalah nama-nama berhala-berhala orang musyrik. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 389.

Disebutkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa berhala-berhala tersebut adalah berhala yang disembah di zaman Nabi Nuh. (Idem, 7: 390).

Pelajaran yang dapat kita ambil dari kesyirikan yang muncul di masa Nabi Nuh bahwasanya awal mula kesyirikan itu muncul dari sikap berlebihan terhadap orang sholih. Di antara sikap berlebihan adalah beri’tikaf (bersemedi atau berdiam) di kuburnya, berdo’a di sisi kubur orang sholih, membuatkan patung atau monumen untuk mengenang mereka.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah Al Harroni, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, ‘Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H.

Subulus Salam, Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dari Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, 27 Jumadal Ula 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/7074-hukum-jual-beli-patung.html